Kab. Lima Puluh Kota
VII Koto Talago, Kampung Ulama dan Cendikiawan di Indonesia (1)
Punya Segudang Profesor, Tiap Rumah Satu Sarjana
Padang Ekspres • Berita Pemerintahan • Selasa, 29/11/2011 12:27 WIB • Fajar R Vesky—Limapuluh Kota • 1005 klik
Ketika label ‘industri otak’ yang dilekatkan dunia luar untuk Sumbar, perlahan-lahan mulai tergerus zaman. Nagari VII Koto Talago justru terus memproduksi pemikir, cendikiawan, ulama dan orang-orang berjasa bagi Republik. Rugi besar, jika pemerintah tidak menjadikan nagari ini sebagai roll model pembangunan sumber daya manusia.
MENGUNJUNGI Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguak, Limapuluh Kota, Sumbar, seperti mengunjungi Republik di masa silam. Di pelupuk mata, seakan terbayang peristiwa 68 tahun lalu, dimana seorang insinyur 43 tahun yang dikenal dengan nama Soekarno, berkunjung ke VII Koto Talago, persisnya ke kawasan bernama Padangjopang.
Soekarno datang untuk menemui duo ulama bersaudara, Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa Abdullah. Presiden RI pertama itu datang untuk menceritakan mimpinya mewujudkan Indonesia yang merdeka. Untuk itulah, Soekarno minta doa dan pendapat kepada kedua ulama kharismatik, pendiri sekolah Islam bernama Darul Funun.
Tiga tahun setelah pertemuan tersebut, cita-cita kemerdekaan yang diimpikan Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Agus Salim, dan para pejuang akhirnya menjadi kenyataan. Sehingga tidak salah, bila banyak orang-orang thariqat meyakini, doa para ulama berpengaruh terhadap kemerdekaan Indonesia.
Kembali ke VII Koto Talago, mengunjungi nagari itu, kita juga teringat dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan berjalan yang dipimpin Mr Syafruddin Prawiranegara untuk menyelamatkan Republik dari cengkraman Agresi II Belanda 1948-1949. Bagaimana tidak teringat?
Di Nagari VII Koto Talago, pada tanggal 6 Juli 1949, terjadi pertemuan antara Delegasi Bangka pimpinan Muhammad Natsir dan Dr J Leimena dengan Mr Syafrudin Prawiranegara serta pejuang PDRI. Pertemuan itu terkait dengan pengembalian mandat PDRI pascaperjanjian Roem-Roijen.
Kini, semua catatan sejarah bangsa dan sejarah dakwah Islam di Nagari VII Koto Talago, masih terus dikenang oleh masyarakat setempat. Walaupun demikian, masyarakat VII Koto Talago tidak larut dalam euforia kejayaan masa lalu. Mereka menyadari, bahwa sejarah dikenang bukan untuk mundur ke belakang tapi untuk menambah motivasi hidup.
Gudang Cendikiawan
Dengan demikian, tidak heran, jika Nagari VII Koto Talago, seperti tidak pernah mengalami ‘power syndrome’. Makin tua, nagari ini malah makin eksis. Makin bertambah usianya, nagari ini semakin banyak saja melahirkan cendikiawan dan orang-orang besar.
Dalam kurun 30 tahun terakhir, setidaknya sudah 11 Profesor yang dilahirkan di VII Koto Talago. Mulai dari Profesor Anas Zaidan, Profesor Kamardi Thalut, Profesor Dewi Fortuna Anwar, Profesor Aslim Tadjudin, sampai Profesor Syafrudin Karimi.
Kemudian, Profesor Ganefri, Profesor Helmy, Profesor Herman Mawardi, Profesor Yuniawardi, Profesor Ahmad Wira Datuak Diko, dan Profesor Adityawarman Adnan. Selain mereka, terdapat pula puluhan doktor, dokter, dan master. Di antaranya, dr Prima Noveky Syahrir, dr Djunaidi, dr Eva dan Dr dr Afri.
”Sedangkan untuk sarjana, mohon maaf, bukan untuk menyombongkan nagari kami. Hampi setiap rumah di VII Koto Talago, punya seorang sarjana. Kalau tidak punya sarjana, tiap rumah minimal punya seorang pegawai negeri sipil. Bila tidak percaya, silakan chek sendiri,” ujar Wali Nagari VII Koto Talago, Yon Hendri, pekan lalu.
Wali nagari yang sarjana sastra itu tentu tidak asal bicara. Nagari Guguak VII Koto Talago memang kaya sumbar daya manusia. Nagari ini bertabur perwira TNI dan Polri. Di antaranya, Brigjend (Purn) Adityawarman, Mayjend (Purn) Asnul, Letkol Indra, Letkol Efrianof, AKBP Maulida Gustina, Letkol Yuni Hermon, Letkol Benny, Letkol Hikmat Hisrar, Letkol Husnin Jalisun, dan sejumlah nama lain.
Tidak itu saja, Nagari VII Koto Talago juga memiliki presenter, sastrawan, wartawan, dan diplomat kondang. Mereka antara lain, Desi Anwar, Adi Bermasa, Adri Sandra, Yanuar Abdullah, Reno Bambang. Sementara di kalangan pelaku usaha, pemilik Toko Bunda Payakumbuh, dealer resmi sepeda motor Honda juga tercatat sebagai putra VII Koto Talago.
Begitupula dengan Kepala Dinas Pertanian, Pertenakan dan Perkebunan Padang Cory Saidan, mantan anggota DPRD Sumbar Hilman Syarifudin dan Hj Dartias Churcil juga putra-putri terbaik Nagari VII Koto Talago. Adapun CEO Riau Pos Group H Makmur Kasim, mantan Menteri Kelautan Rokhmin Damhuri, mantan cabup Limapuluh Kota Profesor Ardi, merupakan urang sumando VII Koto Talago.
Adapun warga VII Koto Talago yang pernah menjadi kepala daerah, baru dua orang. Yakni, mantan Wali Kota Payakumbuh dan Wali Kota Padangpanjang Muzahar Muchtar, serta mantan Bupati Sijunjung Letkol (Purn) Syahrul Anwar. Sedangkan Sekkab Limapuluh Kota H Anwar ZA juga orang VII Koto Talago.
Tapi sekali lagi, semua potensi tersebut, sebagaimana ditegaskan Yon Hendri, tidak membuat warga Nagari VII Koto Talago besar kepala. Anak nagarinya, terutama generasi muda, tetap ditempa dengan pendidikan. Tujuannya, tentu saja agar nagari ini tetap eksis melahirkan cendikiawan dan orang-orang berjasa bagi Republik.
Dalam menunjang pendidikan anak-anak muda tersebut, di Nagari VII Koto Talago, terdapat 4 lembaga PAUD, 7 unit TK, 10 unit SD, 4 unit sekolah setingkat SMP, dan 3 unit sekolah setingkat SMA. Setamat dari SMA, anak-anak Nagari VII Koto Talago, selalu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
”Di kampung kami, warga sudah terbiasa berlomba menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Akan malu rasanya, kalau tak ada anak yang kuliah. Karena warga kami yakin, pendidikan adalah investasi masa depan. Walau demikian, pendidikan tetap dijadikan sebagai tanggungjawab bersama,” ujar Yon Hendri. (bersambung)
[ Red/Redaksi_ILS ]
Soekarno datang untuk menemui duo ulama bersaudara, Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa Abdullah. Presiden RI pertama itu datang untuk menceritakan mimpinya mewujudkan Indonesia yang merdeka. Untuk itulah, Soekarno minta doa dan pendapat kepada kedua ulama kharismatik, pendiri sekolah Islam bernama Darul Funun.
Tiga tahun setelah pertemuan tersebut, cita-cita kemerdekaan yang diimpikan Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Agus Salim, dan para pejuang akhirnya menjadi kenyataan. Sehingga tidak salah, bila banyak orang-orang thariqat meyakini, doa para ulama berpengaruh terhadap kemerdekaan Indonesia.
Kembali ke VII Koto Talago, mengunjungi nagari itu, kita juga teringat dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan berjalan yang dipimpin Mr Syafruddin Prawiranegara untuk menyelamatkan Republik dari cengkraman Agresi II Belanda 1948-1949. Bagaimana tidak teringat?
Di Nagari VII Koto Talago, pada tanggal 6 Juli 1949, terjadi pertemuan antara Delegasi Bangka pimpinan Muhammad Natsir dan Dr J Leimena dengan Mr Syafrudin Prawiranegara serta pejuang PDRI. Pertemuan itu terkait dengan pengembalian mandat PDRI pascaperjanjian Roem-Roijen.
Kini, semua catatan sejarah bangsa dan sejarah dakwah Islam di Nagari VII Koto Talago, masih terus dikenang oleh masyarakat setempat. Walaupun demikian, masyarakat VII Koto Talago tidak larut dalam euforia kejayaan masa lalu. Mereka menyadari, bahwa sejarah dikenang bukan untuk mundur ke belakang tapi untuk menambah motivasi hidup.
Gudang Cendikiawan
Dengan demikian, tidak heran, jika Nagari VII Koto Talago, seperti tidak pernah mengalami ‘power syndrome’. Makin tua, nagari ini malah makin eksis. Makin bertambah usianya, nagari ini semakin banyak saja melahirkan cendikiawan dan orang-orang besar.
Dalam kurun 30 tahun terakhir, setidaknya sudah 11 Profesor yang dilahirkan di VII Koto Talago. Mulai dari Profesor Anas Zaidan, Profesor Kamardi Thalut, Profesor Dewi Fortuna Anwar, Profesor Aslim Tadjudin, sampai Profesor Syafrudin Karimi.
Kemudian, Profesor Ganefri, Profesor Helmy, Profesor Herman Mawardi, Profesor Yuniawardi, Profesor Ahmad Wira Datuak Diko, dan Profesor Adityawarman Adnan. Selain mereka, terdapat pula puluhan doktor, dokter, dan master. Di antaranya, dr Prima Noveky Syahrir, dr Djunaidi, dr Eva dan Dr dr Afri.
”Sedangkan untuk sarjana, mohon maaf, bukan untuk menyombongkan nagari kami. Hampi setiap rumah di VII Koto Talago, punya seorang sarjana. Kalau tidak punya sarjana, tiap rumah minimal punya seorang pegawai negeri sipil. Bila tidak percaya, silakan chek sendiri,” ujar Wali Nagari VII Koto Talago, Yon Hendri, pekan lalu.
Wali nagari yang sarjana sastra itu tentu tidak asal bicara. Nagari Guguak VII Koto Talago memang kaya sumbar daya manusia. Nagari ini bertabur perwira TNI dan Polri. Di antaranya, Brigjend (Purn) Adityawarman, Mayjend (Purn) Asnul, Letkol Indra, Letkol Efrianof, AKBP Maulida Gustina, Letkol Yuni Hermon, Letkol Benny, Letkol Hikmat Hisrar, Letkol Husnin Jalisun, dan sejumlah nama lain.
Tidak itu saja, Nagari VII Koto Talago juga memiliki presenter, sastrawan, wartawan, dan diplomat kondang. Mereka antara lain, Desi Anwar, Adi Bermasa, Adri Sandra, Yanuar Abdullah, Reno Bambang. Sementara di kalangan pelaku usaha, pemilik Toko Bunda Payakumbuh, dealer resmi sepeda motor Honda juga tercatat sebagai putra VII Koto Talago.
Begitupula dengan Kepala Dinas Pertanian, Pertenakan dan Perkebunan Padang Cory Saidan, mantan anggota DPRD Sumbar Hilman Syarifudin dan Hj Dartias Churcil juga putra-putri terbaik Nagari VII Koto Talago. Adapun CEO Riau Pos Group H Makmur Kasim, mantan Menteri Kelautan Rokhmin Damhuri, mantan cabup Limapuluh Kota Profesor Ardi, merupakan urang sumando VII Koto Talago.
Adapun warga VII Koto Talago yang pernah menjadi kepala daerah, baru dua orang. Yakni, mantan Wali Kota Payakumbuh dan Wali Kota Padangpanjang Muzahar Muchtar, serta mantan Bupati Sijunjung Letkol (Purn) Syahrul Anwar. Sedangkan Sekkab Limapuluh Kota H Anwar ZA juga orang VII Koto Talago.
Tapi sekali lagi, semua potensi tersebut, sebagaimana ditegaskan Yon Hendri, tidak membuat warga Nagari VII Koto Talago besar kepala. Anak nagarinya, terutama generasi muda, tetap ditempa dengan pendidikan. Tujuannya, tentu saja agar nagari ini tetap eksis melahirkan cendikiawan dan orang-orang berjasa bagi Republik.
Dalam menunjang pendidikan anak-anak muda tersebut, di Nagari VII Koto Talago, terdapat 4 lembaga PAUD, 7 unit TK, 10 unit SD, 4 unit sekolah setingkat SMP, dan 3 unit sekolah setingkat SMA. Setamat dari SMA, anak-anak Nagari VII Koto Talago, selalu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
”Di kampung kami, warga sudah terbiasa berlomba menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Akan malu rasanya, kalau tak ada anak yang kuliah. Karena warga kami yakin, pendidikan adalah investasi masa depan. Walau demikian, pendidikan tetap dijadikan sebagai tanggungjawab bersama,” ujar Yon Hendri. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar