MARI KITA BANGUN “TALI BATIN” PERTEMA … « Blog Yan Abdullah

MARI KITA BANGUN “PERSAUDARAAN” PERTEMANAN Salam Bahagia dan Sejahtera Penuh Berkah. Teman-teman "On Line" saya yang baik hati. Di dalam ini kita bersama-sama saling berbagi (Shering), tukar menukar pengalaman dan pengetahuan, dan mengelola "lalu" lintas On Line. Saya akan memberikan sesuatu yang Anda perlukan, jika menurut Anda berguna dan akan memakainya boleh dicopy dengan mencantumkan sumber-Url-nya. Demikian pula antara Anda dengan teman-teman lainnya dan saya. Kenapa tidak. Kita membangun "sinergitas", peberdayaan untuk kesejateraan, kebahagiaan kita bersama dan tanpa melepaskan tujuan akhir kita masing-masing. Frienship; Persaudaraan,kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Mari kita saling berbagi share di sini.

Rabu, 10 Desember 2014

* Sekitar Tahun 500: Sriwijaya* - Jembatan Bisikan

Sekitar Tahun 500: Sriwijaya
Dalam bahasa Sanskerta kata “Sriwijaya” mengandung dua suku kata: “sri” berati cahaya; “wijaya” berarti kemenangan. Dan memang, Sriwijaya adalah satu dari kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara. Kerajaan besar lain adalah Majapahit, yang berdiri pada masa akhir keberadaan kerajaan ini.
Cikal bakal keberadaan kerajaan yang terletak di seputar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang ini menurut catatan sudah ada pada tahun 500-an. Kerajaan ini terdiri atas tiga daerah utama: daerah ibukota yang berpusatkan di sekitar Palembang, lembah Sungai Musi dan daerah-daerah muara.Mengingat lokasinya, kerajaan ini diperkirakan menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim penting pada abad keenam.
Bahkan pada sekitar tahun 425 agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya. Sriwijaya – tepatnya Palembang - menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695. Ia menuliskan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
I Ching banyak menulis tentang keberadaan Sriwijaya. Catatannya kemudian menjadi bahan penting untuk mengetahui keberadaan kerajaan ini.
Selain catatan tersebut, bukti lain tentang keberadaan Sriwijaya bisa ditemui dari berbagai peninggalan. Antara lain prasasti . Prasasti yang menuliskan tentang Sriwijaya antara lain dibuat pada tahun 683 di Palembang. NamanyaPrasasti Kedukan Bukit .
Pendiri Sriwijaya
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa . Ia memimpin 20.000 tentara di Minanga Tamwan (Ibu Kota Kerajaan Melayu ) yang diliputi perasaan senang karena kemenangan menaklukkan Kerajaan Malayu . Pada tahun 680 di bawah kepemimpinan Jayanasa, wilayah Kerajaan Melayu, Jambi dan Bengkulu takluk di bawah Sriwijaya.,
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa (dinasti) Sailendra mulai berkuasa di Jawa Tengah. Ia merupakan keturunan langsung Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur , Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung. Kerajaan ini menguasai perdagangan di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Perluasan wilayah ke Jawa dan Semenanjung Melayu (Malaysia), menjadikan Sriwijaya menguasai dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Catatan atau bukti peninggalan Sriwijaya memang tersebar di berbagai negara yang berada dalam kekuasaannya. Ada di Thailand, Kamboja, Vietnam, selain di beberapa provinsi di Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Palembang. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.
Samaratungga dan Borobudur
Pada masa Samaratungga berkuasa, 792 sampai 835, ia lebih memusatkan perhatian pada penguasaan wilayah di Pulau Jawa. Pada masa kepemimpinannya itulah Candi Borobudur di Jawa dibangun dan selesai pada tahun 825.
Pada abad ke-12, luas wilayah Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Malaysia (Kelantan, Kedah, Pahang, misalnya), Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim besar hingga sekitar tahun 1200.
Kekuatan Sriwijaya mulai pudar pada sekitar tahun 1000. Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India Selatan menyerang Sriwijaya dalam tiga gelombang. Yang pertama tahun 1017. Pada penyerangan kedua tahun 1025 pasukan India Selatan menaklukkan Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Pada tahun 1068 hampir seluruh wilayah Sriwijaya diserang.
Meskipun serbuan Chola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi serangan-serangannya memberi dampak yang sangat besar. Beberapa negara kecil yang tadinya berada di bawah kekuasaan Sriwijaya – Kadiri di Jawa misalnya - melepaskan diri.
Pada tahun 1288, Kerajaan Singhasari (penerus kerajaan Kadiri di Jawa) melakukan “Ekspidisi Pamalayu”. Ekspidisi di sini bisa berarti “penyerangan”. Ekspidisi Pamalayu berhasil meruntuhkan Palembang dan Jambi.
Selanjutnya, pada tahun 1293 Sriwijaya tunduk pada kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Majapahit, keempat, Hayam Wuruk, menyerahkan kekuasaan atas wilayah Sriwijaya kepada Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa.
Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaysia.Pada pergantian abad itulah keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan berakhir.
Raja-raja Sriwijaya
683 Jayanasa
702 Indrawarman
728 Rudra Wikraman
790 Dharmasetu
775 Sangramadhananjaya
792 Samaratungga
835 Balaputra
960 Sri Uda Haridana atau Sri Udayadityawarman
961 Sri Wuja atau Sri Udayadityan
980 Hia-Tche
988 Sri Culamaniwarmadewa
1008 Sri Marawijayottungga
1017 Sumatrabhumi
1025 Sangramawijayottungga
1028 Sri Dewa
1064 Dharmawira
1156 Sri Maharaja
1178 Trailokaraja Maulibhusana Warmadewa
1183-1251 Belum ada catatan tentang raja Sriwijaya pada masa itu 
http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Archive/Sejarah-Indonesia/Zaman-Pra-Kolonial/Tahun-0-599/Sekitar-Tahun-500-Sriwijaya
======

Postingan ke-718: Kisah Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Kerajaan Sriwijaya)
Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang dianggap sebagai pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari akhir abad VII yang disebut sebagai ''Prasasti-prasasti Siddhayatra'', karena menceritakan perjalanan sucinya mengharap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah disekitarnya. Ia berkuasa sekitar perempat terakhir abad VIII, tepatnya antara kurun waktu 671 M hingga 702 M.
Menuru I Tsing, seorang pendeta Budha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 M dan tinggal selama 6 bulan, terkesan akan kebaikan raja sriwijaya waktu itu, dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai sriwijaya yang juga berada pada abad ke-7, bertarikh 682 M yaitu prasasti kedukan bukit di Palembang, merujuk kepada orang yang sama. Walaupun kemudian beberapa sejarawan berbeda pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti itu.
Menurut Prasasti kedukan bukit berangka tahun 605 saka (683 M), menceritakan seorang raja bergelar Dapunta Hyang melakukan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Ia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20 ribu bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa daerah. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan SiddhAyatra dan penaklukan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di kota Kapur di pulau Bangka (686 M), Karang Brahi di Jambi (686 M) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, dapat disimpulkan bahwa Dapunta Hyang Sri Jayanasa mendirikan kerajaan sriwijaya setelah mengalahkan lawan-lawannya di Jambi, Palembang, selatan Lampung dan pulau Bangka, dan bahkan melancarkan serangan ke tanah Jawa yang mungkin menyebabkan keruntuhan kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Nama dan Asal-Usul:
Dapunta Hyang dipercayai sebagai suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal. Gelar Dapunta juga ditemukan dalam prasasti Sojomerto yang ditemukaan di daerah Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sebagai nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah 'Hyang' sendiri dalam kebudayaan asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melakukan perjalanan ''mengalap berkah'' untuk memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang dianggap bertuah dan ditakuti para Datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan disertai kutukan bagi siapa saja yang menghianati Sriwijaya.
Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan para ahli sejarah. Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat bahwa Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berarti temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau, yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.
Sumber:Wikipedia Indonesia
--------------------------------------
Baca postingan KSI lainnya di:
1. KSI-Islam (Sejarah Islam):
Kumpulan Sejarah Islam (Histories of Islam)
2. KSI-Love (Tentang Indonesia):
Kami Sayang Indonesia
3. KSI-Inter (Sejarah Internasional):
Kumpulan Sejarah Internasional (International Histories)
-Reza

https://www.facebook.com/KumpulanSejarahIndonesia/posts/519489391479496


========

Melacak Jejak Kerajaan SRIWIJAYA

Posted by infokito™ pada 17 April 2008
Sinopsis
Melacak Jejak Kerajaan SRIWIJAYA
triyono-infokito
Untuk memasuki tahapan telaah kerajaan Sriwijaya secara lebih detail, ada baiknya kita mengetahui kisah perjalanan pribadi pendeta I-Tsing. Ia membuat catatan perjalanannya yang berjudul Ta-tang Hsi-yu Chin-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-Pendeta yang Menuntut Ilmu di India Zaman Dinasti Tang) dan catatan lainnya berjudul Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Ajaran Buddha yang yang dikirim dari Laut Selatan) yang dibuat antara tahun 689 sampai 692 M.
Peta Kerajaan Sriwijaya
Asia Tenggara pada Zaman Sriwijaya
Kisah perjalanan pendeta I-Tsing ini merupakan sumber informasi paling utama dan terpenting melengkapi sejarah kerajaan Sriwijaya. Hal ini tidak hanya I-Tsing bercerita panjang tentang Sriwijaya, tetapi ini merupakan cerita pengalaman pribadi yang agak rinci dalam kurun waktu paling awal dari sejarah perkembangan Sriwijaya.
Tulisan berikut ini, yang kami publikasikan di portal infokito, merupakan pelengkap cakrawala untuk mencari jejak kerajaan Sriwijaya sebagai bagian sejarah perjalanan bangsa …

26 Tanggapan to “Melacak Jejak Kerajaan SRIWIJAYA”

  1. Agung Arlan said

    The Rise of Sriwijaya Empire
    ( The Legend of Jaya Naga )
    Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama Suku Sakala Bhra ( purba ) yang berarti Titisan Dewa , suku ini mendiami daerah pegunungan dan lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung .
    Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di bagian huluan sumatera bagian selatan yang di sebut juga dengan suku SAMANDA_DI_ WAY yang berarti orang yang mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), Suku ini yang kelak kemudian asal mula suku Daya, komring, dan Pasemah. ( Van Royen -1927 )
    Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komring di daerah uluan sumatera selatan.
    Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat , sakti , yang bernama JAYA NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA-PUNTA-HYANG yang berarti Maha Raja yang Keramat , sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang mempunyai kesaktian tinggi..
    Nama kerajaan tersebut adalah SRIWIJAYA yang disebut juga dalam kronik china yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih
    Kerajaan ini setiap tahun nya mengirim utusan ke negeri china tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang saat itu di negeri China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618 – 907 ).
    Disebut pada satu tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan dari laut china selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok, kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di translerasikan menjadi Sriwijaya.
    Pada tahun 671 Masehi seorang pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi negara ini dalam perjalanan menuju India untuk memperdalam ajaran Budha.
    It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kerajaan Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta , dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu ( Jambi ) dan menetap selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan melalui Kedah terus keutara menuju India.
    Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh rakyatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arief , bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat.
    Setiap daerah yang dia taklukkan selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di daerahnya sendiri tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kerajaan Sriwijaya. Jaya Naga juga mampu menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun yang mendiami Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba, System pemerintahan inilah yang kelak menjadi cikal asal mula system pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan sumatera selatan.
    Kerajaan Sriwijaya terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan hasil alamnya berupa kayu kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India ke China maupun sebaliknya,dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama saerah semenanjung Selat Malaka dan Selat Sunda terbukti dari catatan It-Tsing , kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha, pendeta Budha yang cukup terkenal dari kerajaan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.
    Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang melakukan perdagangan dengan India , Arab dan China .
    Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai kecil yang memasuki perkotaan sehingga perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini terkenal dengan armada kapal – kapal yang menguasai kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda .
    Para pedagang dari Sriwijaya mulai berkembang pesat mengikuti perkembangan jaman malalui perdagangan ke India maupun ke China sehingga menambah kemakmuran dan kejayaan bagi kerajaan tersebut. Sekarang pun masih kita lihat adanya Makam tua di daerah uluan sungai Komering di dusun Minanga Kecamatan Cempaka Oku Timur Sumatera Selatan yang di ceritakan oleh orang setempat sebagai makam saudagar pinang asal India yang bernama Komering Sing. ( asal mula sungai Minanga berubah menjadi sungai komering )
    Seiring itu juga bermunculan para perompak kapal kapal niaga yang membawa barang dagangan yang melintas di perairan pantai timur pulau Sumatera yang membuat risau para pedagang yang melintasi daerah tersebut.Di Daerah sekitar kerajaan juga bermunculan kelompok masyarakat yang satu sama lain saling bertempur dan mulai menggangu lalu lintas perdagangan di daerah sekitar kerajaan Sriwijaya.
    Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang ada di uluan sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak.
    Kondisi seperti ini membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur pulau sumatera berlabuh di pelabuhan Melayu ( Jambi ) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.
    Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung. Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dari sang Gaib di gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga ( ibukota kerajaan ) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komring bermuara kurang strategis di pandang dari sudut perdagangan.
    Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba).Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat )
    Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun.
    Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang di daerah Po-Lim-Fong ( palembang ) biasa kita sebut sekarang adalah Bukit Siguntang Mahameru. sebagai titik temu.
    Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan sungai Komring.
    Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini merupakan dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu masuk ke tanjung Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di sumatera.selatan.
    Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran – pertempuran kecil yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah daerah yang di lintasi oleh pasukan Kerajaan Sriwijaya.
    Pada tanggal 16 Juni 682 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit . Kemudian membangun suatu benteng pertahanan di karenakan dari tempat ini dapat terlihat kelautan lepas kapal – kapal yang mau memasuki pelabuhan palembang.
    Kerajaan Sriwijaya adalah pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar uluan Palembang, Sumatra. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama – daerah ibukota muara yang berpusatkan Minanga, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara sungai yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok.[12] Ibukota diperintah secara langsung oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu lokal.
    Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang dan menguasai pelabuhan palembang , maka kemudian yaitu “ pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun 606 Saka ( 23 Maret 684 M) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikianla pula halnya dengan tebat dan telaga agar dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk.. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau menambah pesannya : “ Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganla hendaknya terjadi Curang,Curi, Bunuh dan Zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi “
    ( Parasasti Talang Tuo )
    Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh yaitu Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat.
    Untuk mengingat hal ini maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).
    Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran di laut Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal – kapal berlayar singgah di kerajaan Melayu ( jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa singgah lagi di pelabuhan palembang.
    Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi ) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya.
    Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
    Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. [13] . Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
    Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas . kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan Sumpah maka di pahatlah prasasti Karang Birahi.
    Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui selat Bangka . Oleh Karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah menaklukan Bangka Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda Penguasa Lokal dan rakyatnya harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga.Demikianlah pada akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
    Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang berdiri sendiri di pantai timur Sumatera Bagian Selatan, untuk kepentingan keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula di tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih ) di lampung Selatan. Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau meninggalkan daerah – daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.
    Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga Mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu Dapunta Syailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari Data yang ada tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian Utara .
    Di Jawa tengah rombongan pasukan yang di pimpim Dapunta Syailendra mendirikan kerajaan sendiri dengan pemerintahan sendiri terpecah dengan kerajaan Sriwijaya. Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di China ( Dinasti Tang ) menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing- masing mempunyai pemerintahan sendiri. ( Kronik Dinasti Tang ).
    Hal ini awalnya membuat Dapunta Hyang Jaya Naga gusar akan akan sikap Dapunta Syailendra untuk mendirikan Negara yang terpisah pemerintahan dengan kerajaan Sriwijaya , namun akhirnya Jaya Naga membiarkannya dengan syarat Syailendra untuk membangun suatu Candi di Ligor ( Muangthai ) atas permintaan Raja Sriwijaya.
    Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Syailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan pesan Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor ( Muangthai ) candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa Syailendra.
    Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan memerintah kerajaan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdaganan di Selat Malaka dan Laut China Selatan .
    Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. [15].
    akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. [14].
    Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
    Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga Silap atau hilang secara misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.( Legenda Minanga Sigonong-Gonong )
    Di angkat dari Buku :
    Periodisasi Kerajaan Sriwijaya
    Karangan : H.M. Arlan Ismail, SH ( 2003 )
    • Nabilla Ulpa said

      Pak H.M Arlan Ismail yang terhormat saya minta tolong apakah bapak bisa menceritakan tentang asal usul orang daerah penyandingan enim dan seleman enim kecamatan tanjung agung kabupaten muara enim yang sampai sekarang cerita mengenai asal usul nya belum jelas kebenarannya……………………..terimakasih banyak sebelumnya
  2. Agung Arlan said

    Minanga Ibukota Kerajaan Sriwijaya……..
    Nama Minanga ( Komring Ulu ) sebagai nama tempat sudah ada semenjak sebelum Van Rokel membaca prasasti kedukan bukit tahun 1924. Oleh karena itu nama Minanga di Komering Ulu itu bukanlah mencontoh kebesaran nama dalam prasasti kedukan bukit.
    Itu terlihat dalam suatu piagam perjanjian tahun 1629 dengan mamakai tulisan Arab-Melayu antara kesultanan Palembang yang pada waktu itu di berkuasa Sedaing Kenayan dengan Ratu Sinuhun mengenai tapal batas Marga Minanga. Piagam tersebut masih tersimpan sebagai dokumen Marga Semendawai Suku III.
    Minanga yang kita identifikasikan sebagai ibukota Sriwijaya sekarang adalah merupakan nama dua buah desa yaitu desa Minanga Tengah dan desa Minanga Besar .
    Desa Minanga sekarang terletak di daerah rawa-rawa dataran rendah. Daerah yang agak tinggi permukaannya mengelilingi desa-desa tersebut yaitu di sebelah hulu sungai disekitar daerah Betung ( dahulu bernama Kedaton ) di sebelah barat ada dataran tinggi yang membentang sampai ke batas Kedaton dan sungai Ogan. Jadi bahwa kawasan Minanga berada di antara dua daerah yang bernama Kedaton yang berada di pedalaman Sumatra Selatan di pinggir Sungai Komring.
    Jarak Minanga dengan Pantai timur sekarang jika di tarik lurus horizontal lebih dari 100 Km. Karena Minanga berada di pinggir sungai yang sekarang di kenal dengan sungai Komring maka penduduknya di sebut orang Komring. W.V. Van Royen dalam bukunya “ De Palembang Sche Marga ( 1927 ) “ tidak menyebut orang komring tetapi “ Jelma Daya “ .Nama sugnai Komring sendiri diambil dari nama seorang yang berasal dari India yang Makam nya terdapat di sebelah hulu desa Muara Dua , sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari Muara Selabung yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring .
    Menurut sejarah Kabupaten Ogan Komering Ulu ( 1979 ) Jelma Daya kelompok pertama yang turun dari gunung Seminung melalui Danau Ranau kemudian seterusnya menelusuri sungai Komring sampai di Gunung Batu adalah kelompok Samandaway. Samandaway berasal dari kata Samanda Di Way yang berarti mengikuti aliran sungai.
    Pada tahun 1974 telah ditemukan sebuah arca Budha yang terbuat dari Perunggu ukuran tinggi ±35 cm, tebal 11 cm di temukan 15 km dari desa Minanga yang di temukan tidak sengaja oleh petani setempat yang kemudian menjadi barang koleksi pribadi mantan bupati OKU pada saat itu.
    Minanga hanyalah monumen sejarah dalam bentuk nama tempat, tapi kawasan Minanga purba adalah begitu Luas yaitu paling sedikit sebesar Marga Semendawai Suku III dan di sebelah barat berbatasan dengan daerah Kedaton ( Ogan Ulu Sumatera Selatan ).
    Karena langka nya peninggalan Sriwijaya dalam bentuk benda kepurbakalaan di manapun termasuk di daerah Minanga ( Komring Ulu ) maka alternative lain yang harus di cari identitasnya ke dalam nilai-nilai Budaya dimana salah satu aspek budaya yang penting dan masih menonjol adalah Bahasa . :
    “ Bahasa adalah alat utama Kebudayaan. Tanpa Bahasa kebudayaan tidak mungkin ada. Kebudayaan tercermin dalam Bahasanya. ( S Gazalba 1966 : 102 ) “
    Seperti di utarakan di muka bahwa rumpun Seminung mempunyai bahasa dan tulisan sendiri. Orang Rumpun Seminung tergolong suku Malayu Kuno ( Proto Malayan Tribes ), bahasanya banyak terdiri dari bahasa Malyu Kuno , bahsa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta.
    Bahasa Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, dan prasasti lainnya dalam periode Shi-Li-Fo-Shih ( 670 s.d 742 Masehi ) adalah bahasa Malayu Kuno dan kausa katanya banyak yang tertinggal dalam bahasa Rumpun Seminung ( Komering, Daya, Lampung, Ranau ).
    Sebagai perbandingan kita mengambil contoh adalah prasasti Telaga Batu : menurut bacaan dan terjemahan Prof.Dr.J.G. de Casparis dalam bukunya “ Selted inscription from the 7 th to the 9 th century A.D ( 1956 )” . Prasasti itu terdiri dari 28 baris dengan jumlah ±709 kata-kata yang sudah terbaca, dari kata-kata tersebut terbentuk ±311 bentukan kata yang tidak kurang dari 50 kata yang terbukti di pakai dalam bahasa Komering ( Rumpun Seminung ).
    Tidak teridentifikasinya Minanga Komring Ulu sebagai ibukota Sriwijaya selama ini di karenakan :
    1. Para ahli sejarah tidak mengetahui bahwa ada Minanga di daerah Komering Ulu Sumatera Selatan yang berada di Muara Sungai di tepi Pantai pada waktu itu, sehingga orang mencari Minanga di luar Sumatra Selatan di dasarkan kepada semata-mata kesamaan bunyi dan penggantian huruf.
    2. Penelitian Geomorfologi semata-mata di tujukan hanyalah penelitian kedudukan Jambi dan Palembang apakah berada di tepi pantai atau tidak pada jaman Sriwijaya
    3. Minanga dalam Prasasti kedukan bukit di satukan dengan kata Tamvan sebagai Toponim (nama tempat ), Minanga yang tersebut dalam prasasti kedukan bukit di tafsirkan sebagai daerah yang ditundukkan oleh sriwijaya yhanya semata-mata untuk memperkuat Palembang sebagai ibukota Kerajaan..
    4. Para ahli sejarah hanya mau mengakui sesuatu atau mengarahkan penelitian pada suatu tempat kalau sudah ada bukti arkeologis di ketemukan lebih dahulu, sedangkan sumber sejarah bukan terletak kepada benda arkeologis semata, tetapi juga dalam bentuk cirri-ciri budaya, bahasa dan lain-lain peninggalan kebudayaan masa lampau yang dapat di jadikan petunjuk awal.
    5. Karena tidak di ketahui bahwa Minanga ada di Komering Ulu Sumatera Selatan maka ia tersisihkan dari obyek penelitian sehingga tidak di temukan benda-benda yang bersifat arkeologis. Benda-benda arkeologis itu hanya di tunggu atau di harapkan untuk di ketemukan secara kebetulan seperti yang kita alami sekarang.
    • Iwan Eka Saputra said

      saya sebagai orang palembang sangat setuju kalau komring adalah situs sejarah yg tak tersentuh oleh para arkeologi kita padahal penduduk setempat banyak menemukan secara tidak sengaja peninggalan2 sejarah tersebut,bagai mana kah cara nya agar komring minanga dapat di sentuh oleh para arkeolog kita????

========
http://infokito.wordpress.com/2008/04/17/melacak-jejak-kerajaan-sriwijaya/


Jembatan Bisikan Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
3000 tahun lalu, kaum terapung dari negeri Cina kuno tinggal di atas rumah-rumah di atas air. Mereka makan malam di udara terbuka.
Setiap keluarga tinggal di atas panggung di sebuah teluk. Ketika seorang anak lelaki sudah tumbuh dewasa, dia akan berdiri di tepi panggungnya dan memanggil. Gadis yang dicintainya akan memanggilnya kembali. Lalu pemuda itu akan membangun sebuah jembatan dari panggungnya menuju panggung si gadis.
Jika keluarga si pemuda menyukai si gadis, mereka akan membantu membangun jembatan itu. Kedua rumah mereka akan digabungkan dan kedua keluarga akan menjadi satu.
Tapi pada suatu hari, seorang pemuda terapung mendengar bisikan dari atas cakrawala. Bisikan itu datang dari seorang gadis yang tinggal nun jauh di sana. Mereka saling memanggil dalam kurun waktu yang lama. Mereka memutuskan untuk menikah.
Keluarga si pemuda bilang tidak. Gadis itu berasal dari kalangan yang berbeda dan terlalu jauh. Tapi si pemuda bersikeras. Ia mulai membangun jembatan menuju cakrawala. Ia menggali dalam ke dasar laut untuk membangun fondasi yang kuat.
K
... baca selengkapnya di Jembatan Bisikan Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Tidak ada komentar: